Eurotrip Lagi (2): Dari Rende ke Hamburg

Bandara Galileo Galilei Pisa, Italia
23 September 2013. 03.17 CET.

Dingin.
Dingin.
Dingin.

Gila banget ini dinginnya, ya Allah!
*elap ingus*

Sekarang udah jam 03.17 waktu Eropa dan saya lagi terpaksa duduk di teras café yang udah tutup di Bandara Galileo Galilei Pisa karena bandaranya tutup.

Ternyata ada ya bandara yang tutup pas tengah malem sampe pagi dan dengan teganya nyuruh penumpang-penumpangnya yang flight pagi nunggu diluar bandara. Oke deh kalau seandainya ini masih summer, lah ini udah autumn dan walaupun kalau siang suhunya masih belasan derajat, tapi kalau malem ya suhunya jadi drop ke 5 derajat kayak sekarang.

Sejak diusir dengan santun dan senyuman manis sama pak polisi bandara jam 12 pagi tadi, saya udah pindah ke dua spot buat nyari tempat yang nyaman buat tidur. Yang pertama di teras toko, yang ngebuat saya harus duduk selonjoran di terasnya yang cuman dilapisin sama semen. Hasilnya jadi masuk angin dan makin kedinginan. Haha. Cerdas. Dan akhirnya jam setengah dua pagi tadi saya duduk di kursi rotan di café sama banyak penumpang terlantar lainnya yang berusaha tidur.

Di arah jam 11 dari saya ada nenek-nenek yang ngebungkus badannya dari ujung rambut sampe ujung kaki sama jaket. Saya tau kalau itu nenek-nenek pas jaket yang nutupin mukanya melorot dan dia bangun untuk ngebenerin si jaket dan lanjut tidur. Disebelah kanan saya ada dua cowo, satu dari Jerman dan satu dari China. Mereka sibuk minum dan ngemil sambil nonton biar hangat. Pas disebelah kiri saya ada pasangan Italia yang peluk-pelukan biar hangat, sedangkan saya malah nulis postingan ini biar lupa kalau saya lagi kedinginan dan gak ada yang bisa dipeluk.
Huhu.

Oiya, jadi hari ini adalah hari pertama (hari kedua sih karena sekarang hitungannya sudah pagi) saya ngelakuin eurotrip part 2 di tahun 2013 ini, mumpung udah lulus dan sebelum balik ke Indonesia bulan depan. Kali ini temen jalan-jalan saya ada banyak orang. Tapi pemeran utamanya adalah Kiki, sahabat / psikolog gratisan saya / mahasiswi Indonesia di Jerman dan saya akan ketemu Kiki besok di Hamburg. Sedangkan pemeran pembantunya (haha) ada Mira, Aissa, Bang Firman, Farsi, dan Tanti. Mereka semua akan muncul di cerita-cerita selanjutanya.

Nah inilah rute jalan-jalan saya:
Rende – Roma (numpang makan siang doang) – Firenze / Florence – Pisa (numpang tidur di teras bandara) – Lubeck (numpang landing) – Hamburg – Copenhagen – Gotheborg.

Saya kemarin berangkat dari apartemen jam 6 pagi untuk ngejar bus ke Roma jam 6.30. Dari Roma, saya naik kereta ke Firenze baru kemudian naik bus bandara ke bandara Pisa malemnya.  Rencananya, saya pingin naik kereta ke Firenze jam 13.05. Karena selain harganya murah, kalau naik kereta yang jadwal seperti itu, saya akan punya waktu yang lebih banyak untuk main di Firenze yang terkenal dengan arsitekturnya yang oke punya. Tapi karena bus dari Rende baru sampai terminal bus Tiburtina jam 12.55 dan saya nyasar-nyasar dulu nyari stasiun keretanya (yang sebenarnya ada pas diseberang terminal bus), saya jadi gak bisa naik kereta jam 13.05 dan harus ngambil kereta jam 15.15 yang baru sampai di Firenze jam 18.30.

Pemandangan di luar kereta menuju Firenze

Pemandangan di luar kereta menuju Firenze

Sesampainya di Firenze, saya langsung jalan buru-buru ke arah alun-alun kota. Yaaa saya sebenernya had no clue ya dimana si alun-alun itu, secara saya gak punya peta dan kalaupun petanya ada saya gak ngerti cara bacanya. Jadilah saya jalan ke arah gang yang paling ramai dan ngikutin orang-orang. Hasilnya saya nemuin beberapa jalan sempit yang bagus dengan apartemen dari batu warna abu-abu dan banyak penjual barang-barang murah.

Didepan stasiun Firenze Novella

Didepan stasiun Firenze Novella

Saya jalan terus buru-buru karena takut ketinggalan bus bandara dan akhirnya muncul di salah satu alun-alun Firenze (Piazza del Duomo). Disanalah berdiri dengan megah Basilica di Santa Maria del Fiore yang mulai dibangun di tahun 1296 dan saya langsung mangap dan ber-“Masya Allah bagusnya!”

Basilica di Santa Maria del Fiore

Basilica di Santa Maria del Fiore

Apa yang suka dari bangunan ini adalah desain dindingnya yang complicated dan cantik, apalagi waktu itu saya datangnya ketika sunset. Warna orange matahari digabung dengan warna coklat-putih dinding gereja ngebuat semuanya jadi berkali lipat lebih megah. Saya mengelilingi si bangunan (yang ternyata luas banget) sambil berdecak-decak kagum dan mendadak rada sedih, andai aja saya kesini sama temen-temen, pasti saya gak akan jadi si Heri (Heboh Sendiri) dan bisa dengan noraknya foto-foto didepan gereja dengan berbagai gaya.

Puas ngelilingin si bangunan, jam 8 malam akhirnya saya memutuskan untuk balik ke stasiun Firenze Santa Maria Novella karena saya harus mencari tahu dimana tempat tunggu bus bandara yang akan berangkat sejam kemudian.

Di print-an karcis bus, ada keterangan tambahan berupa peta. Sayangnya petanya bener-bener simple kayak peta lokasi nikahan di undangan Indonesia, cuman kotak, titik, dan label nama. Padahal stasiun Firenze ini besar dan banyak toko dan bangunan disampingnya. Akhirnya saya nanya ke beberapa orang, penjaga toko di dalam stasiun dan polisi, tentang letak si bus tapi mereka semua kasih petunjuk yang beda-beda dan gak yakin sama petunjuk mereka. Hahaha. Atuhlah. Kalian aja gak yakin, gimana saya?

Jam mulai menunjukkan waktu 20.15, saya mulai sedikit panik. Mengikuti arahan polisi, akhirnya saya jalan ke terminal bus yang ada di belakang stasiun. Saya micingin mata mencari papan nama si bus tapi nihil. Saya tanya ke salah satu petugas disana, dia malah geleng-geleng dan ngomong dengan gak yakin, “mmm, kayaknya busnya ada di depan stasiun deh.”
Saya: “Yakin ada disana?”
Petugas: “kayaknya ya.. “

Glek.

Saya jalan buru-buru ke antrian bus didepan stasiun dan nanya ke polisi lagi didepan sana, tapi pak polisi yang ganteng (teteup!) malah geleng-geleng sambil ngarahin saya ke terminal bus tadi. Saya ngeliat jam lagi dan ternyata udah nyaris jam 20.30. Saya ambil napas dan baca doa untuk nenangin diri dan pelan-pelan membaca lagi petunjuk di kertas print-an karcis yang udah mulai lecek. Karena tetep aja gak paham, saya masuk lagi kedalam stasiun dan nanya sana-sini. Beruntung, akhirnya ada Mas-mas yang tau dimana tempat si bus itu ngetem, dan katanya biasanya calon penumpang bus bisa menunggu di café X di luar terminal. Saya jalan keluar sesuai petunjuk dia dan menemukan café X rolling doornya udah tertutup setengah.

Saya nunduk dan manggil mbak-mbak yang lagi beresin kursi didalam café, “Mbak, permisi.”
Mbak: *tanpa nengok ke arah saya* Kita udah tutup.
Saya: iya, tapi saya mau tanya, tempat nunggu bus X dimana?
Mbak: *gak ngejawab pertanyaan saya dan tetep sibuk dengan kursi*
Saya: *tetep keukeuh ngejelasin kalau saya harus naik bus ke bandara Pisa jam 9 malam ini*

Mendengar suara saya yang setengah ngomong bahasa Inggris dan Italia dengan tone panik dan melas, seorang Mas-mas yang baru keluar dari arah belakang café langsung datang ke arah saya dan nanya dengan sopan, “bisa saya bantu?”

Setelah membaca tiket bus saya, dia senyum dan nunjuk ke arah lapangan disamping stasiun dengan undakan tangga, “kamu tunggu disana ya. Saya beres-beres disini dulu. Nanti saya kesana 20 menit lagi.”

Akhirnya setelah dia ngeyakinin saya kalau dia gak bohong dan akan kesana 20 menit lagi, saya duduk di tangga. Saya melihat sekeliling dan banyak anak-anak muda dengan berbagai macam tindikan dan baju bolong-bolong ditambah botol minuman keras mengumpul bergroup di beberapa spot. Saya perhatiin lagi, ternyata mereka bukan orang Italia, tapi imigran dari Romania, Arab, dan Africa. Merasa sedikit takut, saya mulai baca doa semoga selamat dan gak ada preman yang ngedatengin saya untuk malak atau iseng ngerekrut saya jadi anggota geng mereka. Baru selesai saya ngucapin aamiin, mendadak bahu saya ditepuk.

Siaaaal!

Saya nengok dan mas-mas yang tadi ada disalah satu group yang saya perhatiin langsung senyum dan duduk disamping saya.
Mas: Hai, saya duduk disini ya.
Saya: Eh?
Mas: Kamu orang Palestina ya?
Saya: Bukan.
Mas: Pakistan?
Saya: Bukan.
Mas: Tunisia? Turki?
Saya menggeleng sopan. Harus sopan daripada dia ngelakuin hal yang ekstreme.

Mas: dari mana dong?
Saya: Indonesia.
Mas: Oh Indonesia. Negaranya indah banget itu!
Saya: Iya.

Si Mas nanya saya mau kemana dan dengan siapa. Saya mengarang cerita kalau saya akan ke Pisa untuk ketemu teman (perempuan) saya disana.

Mas: Disini ngapain?
Saya: Nunggu teman (teman dalam bahasa Italy bisa ‘amico’ untuk teman laki-laki dan ‘amica’ untuk teman perempuan. Saya bilang itu karena agar seakan-akan saya gak luntang-luntung duduk sendirian disini).
Mas: *kaget* orang Italia?
Saya: Iya.
Mas: *megang pundak saya dan ngeliat saya dengan tatapan menasehati* kamu hati-hati ya sama cowo-cowo Italia. Mereka itu banyak yang gak bener. Maunya ngajak tidur bareng doang.
Saya: *rada ngejauh, risih bahu saya dipegang*
Mas: Seriously, because you are a nice girl. A really nice girl. I hope God will protect you. Okay, I’m going now. Take care, okay.

Saya mengerjap kaget ngedenger nasehat si Mas dan bingung ngeliat dia yang ujug-ujug pergi setelah ngomong itu ke saya. Alhamdulillah ternyata saya masih dilindungi Allah, mungkin salah satu bentuk perlindunganNya adalah melalui si Mas random itu.

Mas-mas café akhirnya muncul beberapa menit kemudian dan gak beberapa lama si bus bandara akhirnya datang. Setelah sekitar 1,5 jam di bus, jam 22.30 saya sampai bandara Galileo Galilei. Sebenernya dari awal saya sudah sedikit was-was kalau jangan-jangan bandara ini akan tutup tengah malam, karena bandara Lamezia (yang ada di dekat tempat saya tinggal) tutup mulai tengah malam sampai sekitar jam 4 pagi.

Jam 12 kurang, bandara mulai sepi. Yang tersisa cuman petugas bandara yang sibuk bersih-bersih, beberapa polisi, dan penumpang early flight termasuk saya. Iseng, saya nyolek Mas-mas Italia disamping saya dan nanya tentang jadwal buka tutup bandara. Dengan yakin dia bilang kalau bandaranya akan tetap buka sampai pagi. Alhamdulillah. 10 menit kemudian, tiba-tiba terdengar pengumuman dalam bahasa Italia dan Inggris kalau bandara akan tutup jam 12 malam dan buka lagi jam 4 pagi. Saya langsung nengok ke arah Mas disamping saya dengan pandangan kata-lo-bandaranya-gak-tutup-gimana-deh. Dan si Mas ngeliat saya dengan bingung dan nanya, “eh ini bandara tutup?”

Atuhlah, Mas. Huhu.

Beberapa saat kemudian dua orang polisi mendatangi kami dan bilang dengan sopan kalau bandara akan tutup, jadi kami dimohon menunggu diluar bandara.

Akhirnya kita berdua (saya dan Mas, bukan dengan polisi), jalan ke arah bandara dan nyari spot untuk menunggu jam 4 pagi. Saya memilih duduk selonjoran di teras toko yang cuma dilapisi semen karena waktu itu udaranya masih belasan derajat dan saya dengan cerdasnya berpikir kalau suhunya gak akan drop setelah itu. Sedangkan si Mas duduk di bangku taman 3 meter dari tempat saya duduk. Dan entah kenapa saya sempat menangkap si Mas beberapa kali nengok ke arah saya, seakan-akan memastikan saya aman-aman saja disana, gak mendadak disamperin sama preman, atau kejang-kejang karena kedinginan duduk diatas semen.

Spot pertama saya tidur. Yang rebahan itu bukan saya ya.

Spot pertama saya tidur. Yang rebahan itu bukan saya ya.

Jam 1 pagi suhu mulai drop. Saya mulai nutupin muka saya dengan syal tebal dan memakai sarung tangan kulit. Masih aja dingin, akhirnya saya tutup kaki saya dengan sweater tebal dan mencoba untuk tidur. 1 menit, 5 menit. Gagal. Hidung saya malah mulai kesumbat karena kedinginan. Akhirnya saya berdiri dan joget-joged ala erobik sambil ngedengerin music di mp3 player saya. Si Mas Italia langsung nengok ngeliat kelakuan saya. Dan kayaknya setelah dia consider kalau kegiatan joget-joget saya tidak mebahayakan nyawa saya, si Mas balik tidur. Sejam bolak-balik berdiri dan duduk lagi, akhirnya saya memutuskan untuk jalan-jalan dan nyari tempat yang lebih hangat. Si Mas nengok lagi begitu melihat saya jalan dan saya langsung bilang, “saya mau cari tempat yang lebih hangat,” dia mengangguk dan lanjut tidur.

Dan disinilah saya, di café yang penuh penumpang early flight lainnya dan sekarang udah jam 4. Saya mau ngecek pintu bandara dulu. Harusnya udah buka.

Oke, saya akhirnya udah di dalam bandara yang hangat. Pintu bandara buka jam 4.15, padahal para penumpang udah berdiri didepan pintu dengan muka desperado dan kedinginan dari jam 4. Sedangkan didalam bandara, beberapa polisi bolak-balik sambil ngobrol santai, seakan-akan gak ngeliat kita dibalik pintu kaca. Meh!

Yasudah saya sekarang mau sholat Subuh dulu lalu mulai check in untuk penerbangan jam 06.30. Hamburg, I’m coming!

8 thoughts on “Eurotrip Lagi (2): Dari Rende ke Hamburg

  1. Hm, pengalaman Nyanya nginap di airport lebih “ekstrim” dari pengalamanku nginap di Haneda Airport…Gak kebayang kalo aku yang harus sendirian tidur di luar airport dalam suasana dingin seperti itu :-) Alhamdulillah Nyanya tetap dilindungi Allah :-)

    • emang bagaimana kak pas nginep di Haneda itu? Cerita ya 😀

      Habis aku kedinginan di airport, besoknya langsung tepar tapi alhamdulillah banget gak sampe sakit. Alhamdulillah selalu dijaga Allah :)

  2. Waktu itu tiba di Jepangnya tengah malam sih :-) Jadi bisa nginap di dalam gedung airportnya. Tetapi, karena bandara Haneda *Kalaugaksalah* tutup dari jam 12 malam sampai jam 5 pagi, kebanyakan orang Jepang / turis yang mau flight paling pagi biasanya udah tidur di airport dari malam sebelumnya (Karena kereta paling malam jam 12 kurang, sedangkan naik taksi mahal :-))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *