Bukti Sayang :)

Rende, 10 April 2013
11.11 CEST

Pembuktian rasa sayang itu berbeda-beda, menurut gw begitu.

Kalau gw pikir-pikir, dari kecil sampai sekarang, orang-orang yang mengaku sayang sama gw ngebuktiin rasa sayangnya melalui banyak hal, gak melulu melalui hal yang menurut gw lemah-lembut atau romantis.

Contohnya dulu pas gw masih sekitaran umur 4 tahun dan masih duduk di TK 0 besar, Mama selalu ngasih PR hapalan doa shalat sebelum beliau berangkat kerja dan gw harus udah hapal bacaan itu ketika beliau pulang sore harinya.
Panik dong!
Seharian mau main sama temen bawaannya kepikiran hapalan doa dan takut kalau gak hapal Mama akan marah.
Pas sorenya, hapalan gw masih belum sempurna, masih “aaaaa… mmmmm.. apa ya Nyanya lupa lanjutannya, Ma..hehe..”

Dan Mama gak marah atau ngomel, beliau ngebantu gw untuk nerusin bagian yang gw lupa dan akhirnya nambahin PR gw lagi. Hahaha! Tapi toh akhirnya diumur gw yang masih bocah bau matahari itu gw udah hapal banyak bacaan shalat.

Atau ketika Ayah minta gw dan Nikmal (adek gw) untuk jadi juara kelas dan mengiming-ngimingi kita hadiah komputer kalau kita berhasil. Disaat itu kita berdua antara termotivasi dan lumayan stress karna memang kita dibesarkan dikeluarga yang “kalau pingin sesuatu kita harus memberikan sesuatu kepada Mama dan Ayah”. Dan juga kita bukan berasal dari keluarga yang kaya yang bisa membelikan anaknya apapun yang anak-anaknya mau. Kita tau Ayah dan Mama berjuang keras untuk membelikan kebutuhan kita, jadilah gw dan Nikmal juga berusaha keras untuk membuat mereka bangga.
Dan ternyata di hari penerimaan raport, gw dan Nikmal sama-sama mendapatkan juara kelas. Langsunglah seminggu kemudian komputer baru terpampang di ruang keluarga.

Dulu juga ketika gw akhirnya minta ijin kepada Mama dan Ayah untuk sekolah diluar negeri, mereka terlihat sedikit patah hati, karena yang mereka pingin sebenarnya adalah gw sebagai satu-satunya anak perempuan mereka untuk tetap ada didekat mereka, gak pergi jauh-jauh entah kemana. Tapi karena mereka sayang banget sama gw, mereka melepaskan rasa egois dan protektif itu dan mengijinkan gw untuk sekolah disini selama 2 tahun.

Dan semakin dekat dengan hari H keberangkatan gw ke Italy, salah satu sahabat gw, Ade, semakin senewen setiap gw menceritakan tentang Italy. Dia bukan iri karna gw bisa ke Eropa, tapi dia sedih karna dia tau kita akan pisah selama 2 tahun dan ngelepasin seorang sahabat gak akan pernah gampang. Tapi disaat itu dia juga sok-sokan tegar didepan gw dan sambil mempuk-puk bahu gw (kita memang bukan tipe sahabatan yang romantis yang suka pelukan),
“Nyai, belajar yang bener, cepet pulang, jangan main-main, jangan nakal-nakal!”

Atau bagaimana Niken yang sering ngomong seadanya yang gak jarang buat gw bilang “lo sadis bener deh!” demi gw sadar dengan kenyataan yang lagi gw hadapi saat itu dan gw kembali bisa mikir pakai logika.

Cara ngebuktiin rasa sayang kadang lebih kearah omelan, atau cara yang gw liat sedikit ‘heartless’, atau rasa ikhlas untuk melepaskan keegoisan mereka demi gw bisa mencapai impian gw, dan mungkin melalui doa.
Gak jarang, bagi gw sendiri, ketika gw sayang sama seseorang atau dua orang atau banyak orang, gw masukin mereka kedalam doa gw. Toh Allah adalah penunjuk rasa sayang terbaik, dan dari doa-doa tersebut gw harap Allah akan terus menjaga mereka dalam kebaikan.

So, if you care about someone, prove it.
Only by telling them a hundred times about that won’t prove anything.

dadut

So, why don’t we take a day off?

Rende, April 2nd, 2013
17:55 CEST

We, humans, mostly want to make precise plans for the better future.
We make a draft, we put super serious thoughts there, and imagine the worst things.
But without us knowing, at that time we also oversee and put our best effort to control things, even the things we shouldn’t control.
We overtake others part.

So, why don’t we take a day off?

Let things happen, without assuming or worrying.
Just sit back, relax, and enjoy every moment to the utmost.
And let the universe play its part.

Well I wrote this note to remind me that sometimes I need to live in the moment, especially if it has a good beat 😉

Well, we can learn something from it! :D

Bangga dan akan selalu bangga

“… kayaknya buku Indonesia Mengajar 2 dari lo bakal jadi the gloomiest book I’ve ever read.”
“Hahaha.. liat nantilah pas penempatan.. ya kalo kadang galau ya biasa. Tapi gw semangat banget nih Nyah, sebentar lagi!”

Percakapan yang gak nyambung.

Memang gitu kalau ngobrol sama Mas-mas yang akan melakukan hal yang akan gw baca di buku itu. Dikala gw galau membaca cerita-cerita tentang petualangan teman-temannya, dia super excited dengan pengalaman yang akan dia mulai 3 bulan lagi.

Semua rasa galau, terharu, dan bangga ini sebenarnya sudah muncul dari bertahun-tahun lalu, ketika gw membaca tentang Butet Manurung yang bersedia untuk pergi ke daerah pelosok Indonesia untuk membagi ilmunya kepada anak-anak yang haus ilmu pengetahuan tapi tidak dapat memperoleh pengajaran yang layak. Yang bahkan, mungkin, banyak penduduk yang berdomisili di sekitara daerah tersebut enggan mengajar anak-anak itu karena masalah finansial, masa depan, dan lainnya.

Dan pada akhirnya muncul beberapa gerakan, yang sebut aja salah satunya Indonesia Mengajar, yang ternyata banyak sekali anak muda Indonesia yang mendaftar yang membuktikan bahwa sebenarnya anak-anak Indonesia masih saling peduli dengan satu sama lain.

Yasudahlah gak perlu gw sebut-sebut pemerintah yang entah kemana, yang dengan cerdasnya banyak ngebiarin sekolah nyaris rubuh dimana-mana tapi banyak dari mereka yang sibuk studi banding keluar negri dengan anggaran yang super besar.

Tadi gw iseng blogwalking dan sampai ke beberapa blog para pengajar muda yang menceritakan keseharian mereka dengan siswa-siswa mereka. Dan mulailah rasa terharu dan cengeng itu muncul lagi. Mereka, anak-anak itu belajar dengan semangat dengan kondisi yang pas-pasan dan bahkan sangat terbatas, tapi banyak anak-anak sekolah di kota yang memiliki fasilitas yang sangat menunjang untuk belajar malah gak terlalu excited dengan belajar.

Dua tahun yang lalu, Bunda (tante) gw datang ke rumah dan cerita tentang anaknya.
Bunda: Tia lagi sebel sama temen-temennya di sekolah..
Gw: Kenapa, Bun?
Bunda: Kan temen-temen sekolah Tia kebanyakan anak orang kaya, mereka selalu beli gadget-gadget terbaru dan suka saling pamer di sekolah. Tia kan hapenya gak begitu bagus. Gak mau juga Bunda beliin yang bagus-bagus ntar malah dicopet..
Gw: Terus?
Bunda: Tia dikata-katain sama temen-temennya karna hapenya gak bagus, jadinya dia sebel sama temen-temennya deh sekarang.
Gw: ……………………….

Gak paham apa yang terjadi sama anak-anak sekolah di kota dan orang tuanya.

Dulu pas SD gw masih seneng-senengnya main karet, lompat-lompatan, dan hal-hal kotor (memang kotor sampe seragam gw kuning haha). Intinya waktu itu gw suka bermain dengan temen-temen gw. Tapi sekarang anak-anak ini lebih suka main dengan barang mati yang modern. Tolong jangan bilang, “sekarang kan jamannya beda Nya. Jaman lo sih memang belom modern, hape aja dulu masih segede bata.”

Menurut gw, dengan seorang anak yang dimanjakan dengan teknologi seperti itu akan membuat mereka acuh gak acuh dengan kehidupan sosial mereka yang sebenarnya. Mereka memang terlihat banyak teman, tapi apa iya mereka benar-benar bermain dengan teman-temannya itu dan membangun hubungan sosial yang pantas? Dan juga si teknologi ini akan jadi ajang pembully-an baru bagi anak-anak yang terlihat ‘gak mampu’ memiliki gadget sebagus mereka.

Berbeda sekali ketika gw membaca apa yang terjadi dengan anak-anak yang berada dan bersekolah di pelosok daerah, iya mereka terbatas, tapi mereka gak manja, mereka bersosialisasi, mereka bermain, mereka belajar. Paket lengkap yang menyenangkan.

Gw gak akan menyia-nyiakan rasa gloomy gw ini hanya sebatas postingan ecek-ecek di blog, tapi gw berjanji akan membantu anak-anak sekolah yang bersemangat itu untuk tetap semangat belajar melalui cara apapun. Karena kalau bukan kita, anak-anak Indonesia, yang saling membantu lalu siapa lagi?

Dan teruntuk kalian, guru-guru, calon guru, dan anak-anak sekolah yang selalu bersemangat, saya hanya ingin bilang,

“Saya bangga, dan akan selalu bangga dengan kalian.”

Salam hangat dan sedikit berangin dari Rende, Italia Selatan.
30 Maret 2013.
17.35 CET

Mahasiswi yang Iri-an

Rende, 30 Maret 2013. 12:12 CET

Gw termasuk di dalam kelompok manusia yang bila ingin mendapatkan sesuatu harus bekerja keras dan banyak berdoa, gak cuman dengan menunggu keajaiban atau meminta ke orang tua.

Dulu, sehari setelah gw lulus sidang dan akhirnya menerima gelar sarjana Ilmu Komunikasi gw dan beberapa sahabat gw langsung meluncur ke ITB job fair untuk hunting lowongan kerja. Dan saat itu, perjuangan baru dimulai sampai sekitar dua bulan kedepan (bagi gw) sampai akhirnya gw diterima di perusahaan biskuit di dalam program Management Trainee.

Perjuangan mencari kerja adalah hal yang sebenernya ngebuat gw paling males kalau harus diulang-ulang lagi; harus membuat CV yang bagus, apply lamaran kemana-mana dan gak lupa nyatet perusahaan dan posisi apa yang gw lamar (biar ketika gw ditelepon sama HRDnya gak akan terjadi percakapan, “Maaf Bu, saya ngelamar posisi apa ya di perusahaan Ibu? Hehe..” Lalu si Ibu menutup telepon dengan kesal), naik turun bus di Jakarta dan Bekasi, dan deg-degan nunggu hasil tes atau interview. Nyaris setiap hari.

Dulu, sebulan sebelum gw dan Niken sidang, kita liat-liat FB temen yang counting days di status Fbnya. Kita kira si temen ini sedang counting days menuju hari sidang. Tapi ternyata, setelah kami sama-sama disidang, si temen ini sedang menghitung hari keberangkatan dia ke Eropa sebagai hadiah kelulusan. Hahaha. Gw dan Niken waktu itu cuman bisa menatap iri foto-foto Eropa si temen, “dia lulus langsung ke Eropa buat liburan. Kita ke ITB buat cari kerja, Nya! Kita gak punya liburan!”

Dan sekarang, setelah 3 tahun lebih berselang, si temen udah setaun lulus kuliah dari Belanda dan sekarang sedang bekerja di Jakarta, Niken sekarang bekerja di Google Singapore, dan gw sedang kuliah di Italy dan sudah mendatangi tempat-tempat yang dulu sempat gw iri-in di foto-foto si temen itu. Ternyata kerja keras gw dan Niken membuahkan hasil yang bagus, apa yang kita inginin waktu itu alhamdulillah pelan-pelan kecapai.

Kadang mungkin perlu sedikit iri dengan kondisi orang lain selama kita bisa mendorong rasa iri itu ke hal yang lebih positif. Dulu mungkin karna gw iri dengan foto-foto temen tersebut, gw jadi sering melihat-lihat album Eropanya dan tanpa gak sadar gw memasukkan niat ke otak gw sendiri agar suatu hari nanti gw harus bisa ke tempat-tempat yang ada di foto. Dan hasilnya, gw jadi makin termotivasi untuk mencari beasiswa di Eropa.

Dan sekarang gw sedang iri dengan banyak hal lain. Iri dengan orang-orang yang akhirnya bisa berkumpul lagi dengan keluarga mereka. Iri dengan orang-orang yang seenaknya bisa makan bebek goreng, tempe, mie aceh, gorengan pinggir jalan kapan aja mereka pingin. Iri dengan sahabat-sahabat gw yang udah berhasil settle secara finansial. Dan iri dengan mereka yang akhirnya sudah settle down dengan pasangan mereka.

Dan gw akan mengubah rasa iri ini ke hal-hal yang positif. Semoga semuanya bisa pelan-pelan tercapai dalam waktu dekat. Bismillah.. :)

Soekarno Hatta - 18 bulan yang lalu

Soekarno Hatta – 18 bulan yang lalu

Saatnya Berpisah :)

Pagi ini gw mendapatkan kabar dari seorang sahabat baik gw di Rende mengenai tanggal kepulangannya ke Indonesia, for good. Dan ketika melihat tanggalnya, gw langsung mengecek berapa hari tersisa yang bisa gw gunain untuk ngabisin waktu bareng dia.

Kedengeran posesif ya? Hahaha.

Tapi gw benci perpisahan, walaupun sebenernya setelah kita jauhan kita akan tetap dekat, bisa saling cerita, dan saling mendukung. Tapi akan ada banyak hal yang berubah. Gw gak akan dengan mudahnya mendatangi kamar dia untuk sekedar curhat atau numpang pakai kamar mandi, atau numpang makan, atau nonton film bareng.

Dan sekarang gw jadi berpikir kenapa gw gak terlalu suka sama perpisahan, karena toh sebenernya gw udah beberapa kali mengalami hal seperti itu dan ternyata semua berjalan baik-baik aja.

Ketika gw akhirnya jauhan sama sahabat gw, Niken, misalnya, gw nangis-nangis di bus bandara karena gak sempet menemui dia sebelum flight. Dan setelahnya selama beberapa hari gw masih merasa sedih karena akan ada banyak hal yang berubah. Semua kenyamanan yang gw miliki bareng dia harus sedikit diubah. Dulu gw yang bisa menelpon dia kapan aja gw butuh, menjadi gak bisa, karena international call sangat mahal. Dulu kapanpun gw ngerasa bosen di waktu weekend gw bisa dengan mudahnya ngebujuk-bujuk dia buat jalan bareng menjadi gak bisa lagi karena gw harus nunggu dia balik ke Indonesia. Itu yang dulu sering gw pikirin. Tapi akhirnya beberapa bulan setelahnya giliran gw yang ninggalin dia ke tempat yang lebih jauh. Dan lucunya, gw gak sesedih ketika Niken ninggalin gw beberapa bulan sebelumnya.

Apa jangan-jangan sebenernya gw sedih karena gw adalah pihak yang ditinggalkan, bukan yang meninggalkan?

Karena ketika kita meninggalkan seseorang atau sesuatu, kita berjalan menuju hal baru yang menarik, sehingga rasa sedih itu gak terlalu terasa. Tapi ketika kita ada diposisi yang ditinggalkan, semua hal akan berjalan sama saja tanpa ada hal baru yang bisa mengalihkan rasa sedih kita dari orang yang udah meninggalkan kita. Tentu aja semua rasa sedih itu akan berangsur-angsur hilang, tapi butuh waktu untuk membiasakan diri dengan rutinitas dan kenyamanan yang baru.

Atau mungkin gw gak suka perpisahan bukan karena jarak yang akan terbentang diantara gw dan orang yang akan pergi itu, tapi karena akan ada banyak hal yang berubah, dan kemungkinan besar KITA yang akan berubah.

Bagus kalau malah membuat kita makin dekat, tapi akan sangat sedih kalau jarak itu akan membuat kita jadi jauh.

Kalau kata Keane, “Everybody’s changing and I don’t feel the same”.

Manusia cenderung untuk berubah, entah itu terjadi secara berangsur-angsur atau BOOM! Mendadak berubah. Hahaha.

Bahkan mungkin gw pernah begitu bagi beberapa orang, gak sama lagi kayak dulu, entah dimata mereka gw berubah menjadi seseorang yang lebih baik atau buruk.

Yasudahlah, bagaimanapun akan selalu ada perpisahan dengan orang-orang yang kita sayang. Akan selalu ada momen dimana kita harus melepaskan sesuatu yang membuat kita nyaman. Dan akan selalu ada masa dimana kita harus siap mengalami perubahan, didiri kita sendiri atau orang yang kita sayang itu :)

Rende, 28 Maret 2013. 14:35 CET

Selamat Datang di Italia! (Bagian 3)

Senin, 25 Maret 2013. 17.09 CET

Banyak temen-temen gw yang berpikir kalau kerjaan gw dan temen-temen Indonesia disini lebih sering jalan-jalan dan belanja dibandingkan belajar. Nah, kalian gak salah, tapi juga gak bener. Karena kita disini berusaha keras untuk bersenang-senang sambil kuliah dan sambil juga mencari jati diri (halah!).

Jadi gw akan menceritakan sedikit mengenai kegiatan anak-anak Indonesia di Rende.

1. Belajar
Keren ya, kegiatan kita banyakan adalah belajar dan kuliah. Gak percaya? Harus percaya. Karena bagaimanapun, kita jauh-jauh dilempar ke Italia karena ingin mendapatkan ilmu. Dan juga kalau kita gak kuliah yang bener, beasiswa kita akan dicabut dan dilempar balik ke Indonesia dengan perasaan malu. Hahaha. Jadi bagi gw, hal yang paling bisa banget ngebuat galau adalah masalah pendidikan apalagi dalam masa-masa thesis kayak gini.

Dulu gw mikir, kenapa ya temen gw galau banget pas thesis, moodnya kadang berantakan, dan sangat butuh support dari banyak orang. Dan sekarang gw ngalamin. Baru 3 bulan gw mulai menjamah thesis daaaan hidup gw berubah menjadi mellow-dramatis. Chat dari temen gw yang cuman nanya gw lagi ngapain bisa berlanjut jadi telepon setengah jam dengan gw yang nangis-nangis sambil nyeritain bab 1 gw yang harus direvisi untuk ke-4 kalinya. Ditambah lagi 3 minggu lalu selera makan gw mendadak hilang. Gw cuman sanggup makan 3-5 suap, lalu mendadak mual (oiya, gak napsu makannya cuma buat makanan Italy, bukan makanan Indonesia). Beberapa temen gw jadi menebak, “kok lo gini sih makannya, Nya? Kepikiran siapaaaa?” Sambil masang muka kepo.
Dan gw cuman termangu dan ikutan mikir, “iya, gw mikirin siapa dan apa sih?” Karena memang banyak banget hal yang berputar-putar di otak gw.

Baru kemarin gw tau jawabannya, karena mood makan gw sudah kembali seperti biasa (ah tidaaaak! Selamat tinggal singset. Ihik) setelah gw menerima email yang berisi, “Isyana, you’ve done a good work. Please continue to the 2nd chapter of your thesis..” Dan saat itu juga gw merasa menjadi wanita terbahagia se-Rende.

2. Makan-makan
Kita disini selalu membuat acara apapun dengan embel-embel makan-makan. Karena kita sama-sama tau kelemahan utama kita adalah makanan enak dan gratis. Hahaha. Acara meeting PPI, misalkan, pasti ada embel-embel ‘ada makan-makannya ya nanti’, atau acara syukuran, dan acara Isra Mi’raj. Dan kita eh gw sangat beruntung karna punya temen-temen yang tingkat kejagoan masaknya sangat super. Dengan bahan masakan seadanya, mereka bisa buat sate, soto, rawon, kari ayam, dan sekarang gw ikutan laper ngebayanginnya.. Bahkan ada 2 temen kita yang bisa ngebuat kecap manis sendiri.

3. Pacaran
… sama internet. Iya, sebagai mahasiswa, kita punya hubungan yang sangat romantis dengan internet yang kalau tiba-tiba koneksi internet kampus bermasalah (kita pakai internet sentral dari kampus), reaksi kita akan selalu:

1) Panik lalu sibuk menelpon semua temen, “internet lo nyalah gak? Internet gw matiiii!”
2) Kalau ternyata internet beneran mati, kita semua akan berkeluh-kesah dan menggalau di sos-med via handphone, “kenapa ya internet pake acara mati pas weekend.. sigh.”
3) Menerima dengan ikhlas internet mati lalu ngebuat acara ngumpul-ngumpul
4) Tetep nanya ke temen-temen dengan harapan internet udah nyalah.

4. Hunting tiket kereta atau pesawat murah
Sayang dong pastinya kalau kita udah jauh-jauh ke Eropa tapi gak jalan-jalan, apalagi kita punya akses yang bernama permesso di soggiorno atau sejenis stay permit di Italy yang ngebuat kita gak perlu repo-repot buat visa lagi untuk memasuki negara-negara Schengen.

5. Memperkenalkan Indonesia atau bahasa kerennya jadi Duta Indonesia
Tinggal di luar negeri membuat rasa cinta negara sendiri lebih besar, apalagi cinta makanan Indonesia-nya. Jadilah kita disini sering mengompori temen-temen negara lain untuk dateng ke Indonesia, gak cuman ke Bali, tapi ke daerah-daerah lainnya. Dan juga kita punya tugas besar untuk menginfokan kepada beberapa orang bahwasanya Bali bukanlah negara, tapi salah satu provinsi di Indonesia.

Kita juga sudah beberapa kali mengadakan acara kebudayaan. Di bulan Mei 2012 kemarin kita membuat acara Indonesian Cuisine di kantin kampus sambil juga menampilkan lagu-lagu dan tarian Indonesia yang ternyata mendapatkan sambutan yang sangat bagus dari temen-temen dari negara lain. Dan di tanggal 15 November kemarin kita membuat acara besar dengan nama Ciao Indonesia, dimana sepanjang hari itu kita membuat seminar mengenai Indonesia, pameran kebudayaan Indonesia, dan di malam harinya kita menampilkan tarian dan fashion show baju-baju adat Indonesia. Serunya, karena ini adalah acara yang cukup besar, kita juga bekerja sama dengan temen-temen dari negara lain yang membuat mereka akhirnya bisa juga menarikan Saman, Lenggang Nyai, Kecak, dan lainnya.

Cucina Indonesiana - Mei 2012

Cucina Indonesiana – Mei 2012

Tari Saman - Ciao Indonesia - Taken by Eka Perwitasari

Tari Saman – Ciao Indonesia – Taken by Eka Perwitasari

6. Ngumpul-ngumpul penting.
Biasanya acara ngumpul-ngumpul ini terjadi karena kita lagi jenuh sama belajar (ciyeee..) lalu kita berkumpul di satu apartemen buat nonton bareng atau main kartu air (siapa yang kalah harus minum air putih berbotol-botol) atau mendadak membuat Harlem Shake. Hahaha.

Kemarin gw mikir-mikir, kalau seandainya gw gak ngambil S2 mungkin gw gak akan pusing thesis dan mungkin sekarang gw udah cukup mapan di Indonesia dan (mungkiiin) lagi siapin pernikahan entah sama pria beruntung manapun itu. Tapi ketika gw mikir lagi, kalau gw gak iseng apply S2 ke Italy, gw gak akan bertemu manusia-manusia lawak Rende ini yang selalu membuat gw ketawa sampai keluar air mata, yang selalu ngebuat gw ngerasa dilindungin dan disayang, yang selalu mensuport gw. Dan juga gw gak akan bertemu dengan banyak orang hebat lagi di sekitaran Eropa yang sekarang menjadi keluarga baru gw :)

Taken by Eka Perwitasari

Taken by Eka Perwitasari

22:22 CET

Hey Belanda apa kabar?

Udah nyaris 6 bulan aku ninggalin kamu, tapi entah kenapa kadang aku merasa aku masih ada disana. Di negara yang dingin, bangun di rumah kecil dilantai 1 dengan badan berat karna penuh tumpukan selimut, dan hanya butuh 10 menit untuk bersiap-siap sebelum aku harus berlari kecil menuju rumah besar yang hanya 5 meter dari rumahku tinggal.
Dan dimulailah hari sibuk seperti biasa. Membersihkan dapur, menyapa si kecil Phil sambil dengan pasrah menerima pelukannya dipinggangku sambil dia menggumam kecil, “Cana!” Buru-buru menyuapi dia roti dan mengajak dia main di halaman rumput yang selalu basah sambil menunggu guru yang setiap hari menjemput jam 9 pagi.

Kemudian kembali kedalam rumah dan menyapa bayi bulat Is yang biasanya hanya akan melihatku dengan matanya yang besar dengan tatapan, “keluarin aku dari penjara iniiii! Aku mau merangkak di lantai!” Lalu aku buru-buru membersihkan lantai agar Is bisa main di lantai.

Ah rutinitas itu. Rutinitas yang sebenarnya selalu aku kutuk-kutuk dan aku harap segera selesai agar aku cepat kembali ke Italy.

Tapi terkadang, ketika aku cuman diam-diam seperti ini kenapa Belanda yang muncul? Kenapa rumah itu yang selalu teringat? Kenapa bayanganmu yang jalan buru-buru didepanku di Amsterdam yang selalu berkelebatan di otakku?

Aku tau aku tidak merindukan perintah-perintah nyonya besar yang selalu freak sama kebersihan dapur atau kamar mandi, atau cakaran Phil yang membuat tanganku penuh bekas luka, atau paniknya aku ketika Is gak mau tidur dan aku harus menggendongnya kesana-kemari sampai dia tidur.

Tapi mungkin aku merindukan pelukan kecil Phil dipinggangku. Cara dia tiba-tiba mendekati mukaku yang waktu itu sedang setengah berjongkok kemudian mencium sudut bibirku dengan tiba-tiba. Bagaimana dia berlari dari jauh dengan tangan terentang sambil berteriak “Cana!”. Atau si kecil Is yang selalu tertawa dengan napas buru-buru setiap dia merasa excited. Yang selalu membuatku harus memutar otak agar gak kalah dengan akal bulusnya tiap dia menolak untuk makan atau pakai baju. Yang kadang membuat mukaku penuh dengan air liurnya karena gak jarang dia mendadak menggigit dagu atau pipiku. Dan juga yang kadang membuat tulang mukaku rada benjol karena ketika dia rewel dia akan menjedutkan jidatnya keras-keras ke mukaku.

Atau mungkin aku merindukan potongan-potongan kenangan itu.
Ketika pertama kali aku melihatmu yang sedang berdiri dengan muka datar sambil menunggu aku naik kereta. Obrolan-obrolan kita di kereta yang gak ada habisnya. Bagaimana kamu yang selalu berjalan meninggalkan aku dibelakang, cara kamu yang ogah-ogahan memegang kamera ketika aku minta foto, atau ketawa terbahakmu yang jelek itu ketika aku balas mengata-ngataimu.

Ingat ketika kita duduk di pinggir kanal untuk makan siang menjelang sore dan kita sibuk bercanda dengan bebek? Kamu melemparkan kentang goreng bersaos A*C pedas ke mereka dan mereka kepedesan dan kita ketawa-ketawa jahil melihat reaksi si bebek. Atau ketika kamu dengan isengnya membuang bungkus saos kosong ke piringku sambil nyengir jail. Atau ketika kamu yang menutup mukamu dengan pasrah sambil menggeleng-geleng mengesalkan ketika mendengar aku yang berbicara hal yang bodoh. Atau ketika kita bersalaman dengan bingung di stasiun karna kita harus pisah kereta dan itu adalah kali terakhir kita ketemu sampai entah kapan.

Aku gak menganggap masa-masa di Belanda itu adalah masa yang paling penting untuk diingat karna setelah itu kita membuat banyak lagi cerita. Tapi kenapa Belanda yang selalu terulang? Kenapa selalu Belanda yang jadi tempat aku ingin kembali?

Karena disitu aku terakhir melihatmu secara langsung  dan benar kata kamu, entah kapan kita akan ketemu lagi.

Katamu perkenalan kita adalah akibat dari konspirasi.
Jadi kalau aku boleh meminta, aku ingin satu konspirasi lagi yang membuat kita bisa bertemu dan aku bisa melihatmu berdiri didepanku. Dan aku benar-benar gak akan peduli kalau kamu akan terus menggeleng-geleng kepala dengan tatapan, “kok lo bodoh bener sih?” Aku gak peduli kalaupun harus mendengar kamu ngomel-ngomel sambil menjelaskan jawaban dari pertanyaan remeh-temehku. Aku gak peduli walaupun kamu selalu meninggalkanku jalan dibelakang sendirian.
Aku cuman pingin ketemu kamu, di satu tempat di dunia ini.

Rende, 17 Maret 2013. 22.22 CET

Leiden

Leiden

Ramalan Jayabaya

Ini adalah Ramalan Jayabaya bagi gw dan Niken, sahabat gw.

Sebenernya ini bukan ramalan Jayabaya beneran, dan bukan ramalan yang datang dari mbak-mbak atau mas-mas tukang ramal, bahkan kita berdua gak percaya dengan ramalan. Tapi untuk term ‘Ramalan Jayabaya’ yang ini cukup membuat was-was bagi kita berdua.

Oke, kembali ke tahun 2009 awal dimana gw dan Niken masih berstatus sebagai dua mahasiswa yang sedang mengejar kelulusan di Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Lingkungan Jatinangor yang memang sangat didesain sebagai kota mahasiswa yang serba dekat kemana-mana membuat kita bebas jalan-jalan ke mall terdekat dengan hanya berjalan kaki dari kosan dan bahkan terkadang kita pergi ke Jatos (Jatinangor Town Square) itu dengan memakai pakaian tidur dan sendal jepit.

Gw dan Niken adalah ummm.. dibilang sepasang kok ya kayaknya keromantisan, dua orang sahabat yang orang-orang selalu bilang, “kalau ada Niken disana, berarti Nyanya ada dideket situ juga,” dan sebaliknya. Singkat kata, kita nyaris selalu kemana-kemana bersama walaupun kita beda kelas di kampus dan beda kosan.

Suatu hari kita berdua pergi ke toko buku di Jatos untuk mencari buku untuk bahan skripsi. Setelah muter-muter mengelilingi toko buku yang luasnya segitu-gitu aja, gw dan Niken tiba-tiba terdiam didepan satu rak buku dan gw iseng mencomot satu buku yang ternyata berjudul, ‘Ramalan dan Zodiak.’
Gw menyikut Niken, “Ken, liat deh..”

Dan memang dasarnya cewek suka iseng liat-liat tentang zodiak, jadilah kita langsung menuju bagian zodiak kita sendiri, yang mana gw adalah Pisces dan Niken adalah Aries, dan kemudian langsung kita baca bagian zodiak pria-pria yang waktu itu sedang kita taksir. Dan langsunglah kita iseng (lagi) menghubungkan kecocokan antara masing-masing zodiak itu. Setelah cekikikan sendiri dengan hasilnya, kita berdua entah kenapa mencari kolom bagian ‘ramalan masa depan pasangan Pisces – Aries’.

Intinya dua zodiak itu akan banyak perselisihan tapi saling memahami, apalagi Aries adalah tipe zodiak yang mudah melupakan sakit hati.
Kita terus membaca dan akhirnya sampai ke bagian,

…hubungan Aries dan Pisces akan berlangsung baik. Aries akan bahagia ketika suatu pagi ketika dia membuka mata orang pertama yang ia lihat adalah sang Pisces yang sedang tertidur lelap.”

Otomatis gw dan Niken langsung liat-liatan dan menutup buku itu sambil bergidik ngeri.

“Astaghfirullah amit-amit, jangan sampe beneran di masa depan kita tidur sekasur dan lo jadi orang yang pertama kali gw liat pas gw bangun, Nya! Hiiii!”
Gw: “Lo kira gw mau lo liatin pas gw lagi tidur???”

Tahun-tahun pun berlalu dan kita masih ingat tulisan di buku itu yang akhirnya kita kasih nama “Ramalan Jayabaya”, yang biasanya selalu kita jadiin bahan becandaaan yang rada horor.

Niken: “Nya, kalo seandainya gw harus nikah sama sahabat gw, mending gw nikahin lo aja..”
Gw: “Hah?”
Niken: “.. lo yang paling ngerti gw, tau cara ngehandle gw, ngapain repot-repot nyari yang lain.. Maksudnya kalo seandainya gw udah desperado banget dan emang lo bisa diubah-ubah jadi cowo..”
Gw: “Gw maunya jadi cewe, Ken.. lo kan lebih cowo dari gw..”
Niken: “Yaudah, gw jadi cowonya..”
Gw: “Tapi lo gak berjakun, gak gagah juga, bahunya gak bidang, gw gak suka..”
Niken: “Ntar gw fitness..”

*gw dan Niken terdiam*

Niken: “Hiiii… astaghfirullah! Jangan sampe Ramalan Jayabaya kejadian, Nya!!!”
Gw: “Lo gak jadi ngelamar gw, Ken?”
Niken: “Gak lah! Gila! Amit-amit!”

Sebenernya gw yakin suatu saat, entah 5 atau 10 atau 20 tahun dari sekarang Ramalan Jayabaya itu akan terjadi. Kita pasti akan bangun di kasur yang sama, tapi gak sebagai pasangan romantis ya, tapi sebagai dua wanita yang lagi liburan dari rutinitasnya sebagai istri dan ibu yang berbahagia.

“… kita harus tetep ada ‘us time’ dong Ken walaupun udah berkeluarga.. sama lo dan sahabat-sahabat kita yang lainnya. Jadi Ibu atau Istri kan bukan berarti kita gak bisa liburan sama sahabat kadang-kadang..”
Niken: “Biarin aja ya sekali-kali suami kita yang ngurus anak..”
Gw: “Iya dong..” :)

Rende, 8 Maret 2013. 22.23 CET.

Keno dan Pipau

Keno dan Pipau

Dua Lima di Dua Satu

Kata Mama dan Ayah, gw lahir ketika azan Isya berkumandang di tanggal 21 Februari 25 tahun yang lalu, karena itulah gw dikasih nama Isyana, yang ‘na’-nya sendiri dalam bahasa Aceh bermakna ‘ada’. Jadi Isyana berarti ‘ada pada waktu Isya’.

Dulu pas gw masih kecil, gw pernah iseng baca-baca notes Ayah, disitu tertulis nama-nama perempuan yang sama sekali gak gw kenal, Nabilla dan Faradilla.
“Yah, mereka siapa?”
“Calon nama Nyanya, tapi karena Nyanya lahirnya pas Isya, yaudah diganti deh namanya.”
Gak kebayang kalo nama gw Nabilla atau Faradilla, kayaknya gak sesuai kepribadian gw yang jauh banget dari kalem dan anggun ini. Hahahaha.

Anyhoo, biasanya gw selalu excited dengan tanggal 21 Februari karena gw selalu menganggap setelah gw melalui tanggal itu gw akan memiliki kebebasan yang lebih. List hal-hal yang ‘legal’ yang bisa gw lakuin bertambah. Tapi ditahun ini, sehari sebelum memasuki tanggal 21 Februari, rasa excited itu sedikit berkurang.

Gw mulai berpikir, sebenernya apa aja yang sudah gw lakukan selama 25 tahun ke belakang.
Apa gw sudah cukup baik menjalani agama?
Apa gw udah membuat bahagia Mama dan Ayah, dan sudah mulai mencicil balas jasa gw ke mereka?
Apa gw sudah menjadi contoh yang baik untuk Nikmal?
Apa gw sudah menjadi sosok yang baik untuk sahabat-sahabat gw?
Apa gw sudah cukup manusiawi sebagai manusia?

Dan sepanjang malam itu gw gak bisa tidur, semua hal dan memori berkelebatan secara random di otak gw. Puncaknya ketika gw akhirnya memutuskan shalat Tahajud kemudian shalat Subuh dan seorang sahabat gw di Jakarta, Ade, mengirimkan ucapan ulang tahun. Gw pun menangis sejadi-jadinya. Mungkin karena hormon atau memang karena gw rindu Indonesia, atau memang perasaan insecure mengenai apakah suatu saat nanti gw bisa berkumpul lagi dengan mereka; Mama, Ayah, Nikmal, dan semua sahabat-sahabat gw. Toh umur hanya Allah yang tahu.

Terlepas dari semua itu, gw sangat bersyukur dengan apapun yang sudah terjadi di hidup gw, semua orang yang sudah menyumbangkan namanya di dalam part hidup gw, dan semua pilihan benar ataupun ‘salah’ yang sudah gw pilih.

Dan di akhir semua kegalauan itu, gw pun akhirnya berjanji untuk terus memperbaiki diri dan menekan egoisme gw sampai batas minimal. Gw juga melist apa-apa saja yang gw harap akan terjadi di tahun ini dan mencoret satu hal dari list tersebut: menikah diumur 25.

Jadi dari jaman dulu gw selalu membully umur 25 ini dengan bualan, “iyaaa, Nyanya ntar nikah diumur 25,” setiap keluarga atau temen-temen gw menanyakan tentang rencana menikah. Dulu gw anggap ketika gw sudah mencapai umur 25 berarti gw sudah 4 tahun bekerja dan berarti sudah cukup mapan untuk membangun keluarga, dan masa’ sih belum punya pasangan?

Ternyata gw sekarang masih sekolah dan masih berjuang untuk mendapatkan gelar. Dan setelah itu gw harus bekerja seenggaknya untuk mengisi tabungan untuk keluarga baru nanti. Baru kemudian gw akan siap untuk memulai chapter besar lainnya dalam hidup gw.
Maaf ya Ma, Yah, punya cucu-nya dipending dulu setahun, in-sha Allah.

Well, I only create my life plan, but at the end Allah is the one who will decide which one I should or shouldn’t do yet.

Bismillah for the upcoming good year, then :)

Happy birthday from Niken